OPINI DOSEN ES

Menyoal Gerakan Ekonomi Syariah Indonesia

Pakar ekonomi Syariah Indonesia, Adiwarman Karim, lewat Koran Republika, edisi Sabtu 26 Oktober 2013, mengatakan bahwa dunia internasional saat ini takut dengan gerakan ekonomi syariah yang berasal dari Indonesia, bukan dari negara Timur Tengah. Mengapa takut?

Ada tiga alasan yang membuat Karim tidak takut mengungkapkan hal itu. Pertama, ekonomi syariah di Indonesia merupakan gerakan rakyat (people movement), bukan gerakan yang didorong oleh pemerintah dan orang kaya. Ekonomi syariah adalah gerakan rakyat dari bawah, berbeda dengan Malaysia yang dibantu oleh pemerintah. Gerakan masif sekitar 500 baitul maal wat tamwil (BMT) di Indonesia yang melibatkan sekitar 30 juta orang adalah satu satu contoh yang baik alasan pertama ini.

Kedua, gerakan ekonomi syariah di Indonesia bertujuan untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Gerakan tersebut juga bertujuan untuk mengurusi hak asasi manusia. Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut menuturkan, banyak orang merasakan manfaat dari ekonomi syariah. Semakin besar gerakan BMT, rakyat akan semakin senang karena BMT mampu memberikan bantuan semakin besar.

Ketiga, gerakan ekonomi syariah di Indonesia dilakukan secara serius, tulus dan ikhlas. Di Indonesia bukan gerakan kosmetik semata. Gerakan pura-pura belaka, melainkan gerakan yang bertujuan untuk menegakkan Islam. Gerakan menegakkan nilai-nilai syariah Islam menjadi alasan ketiga dunia global merasa takut pada gerakan ekonomi Syariah Indonesia. Apakah alasan yang diutarakan Karim mendapat pembenaran? Mari kita lihat.

Mahmoud El-Gamal (2006), salah satu kritikus paling terkenal tentang praktik ekonomi dan keuangan Syariah dalam bukunya “Islamic Finance: Law, Economics and Practice”, menulis bahwa dengan “berupaya untuk meniru substansi praktik keuangan kontemporer dengan menggunakan bentuk kontrak pra-modern, keuangan Syariah telah terbukti gagal memenuhi tujuan Hukum Islam: keadilan dan kesetaraan di bidang ekonomi. Dia berpendapat bahwa Syariah dalam “keuangan Syariah” harus berhubungan dengan tujuan keuangan sosial dan ekonomi dari transaksi keuangan, bukan mekanika kontrak yang dengannya tujuan keuangannya tercapai.

Bahasa “takut” yang digunakan Karim untuk dunia mondial atas keberadaan ekonomi syariah mendapat pembenaran M Dawam Rahardjo (2003) yang melihat gerakan Islam terwujud dalam dua pola. Pertama, pola “Islam Politik” yang menempuh jalan mencapai kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan syariat Islam. Kedua, “Islam Kultural” yang memilih jalur budaya dan kemasyarakatan.

Yang pertama bertujuan menegakkan negara Islam atau kekuasaan Islam, sedangkan yang kedua bertujuan untuk menciptakan masyarakat Islam, peradaban Islam atau masyarakat madani, paling tidak ikut serta dalam civil society. Organisasi Islam mainstream, Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), memilih jalan atau pola kedua. Alasan Karim bahwa ekonomi syariah Indonesia adalah gerakan rakyat dari bawah masuk kategori penegakan syariah Islam secara kultural.

Menurut Ahmad Syafii Maarif (2015) dalam bukunya “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”, tidak ada yang salah dalam upaya berbagai pihak untuk menggunakan atribut Islam sebagaimana dalam istilah “ekonomi Islam” sebagai payung perjuangan atau kegiataannnya. Namun demikian, corak dan bentuk yang serba-Islam ini akan menjadi bumerang ketika bentuk-bentuk formal itu gagal menampilkan nilai-nilai keislaman dengan kualitas tinggi, sesuai klaim besar agama ini, yaitu rahmat bagi alam semesta.

Kekhawatiran Buya Maarif ternyata terbukti. Kita ambil contoh misalnya, beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 19 januari 2012, ada salah satu surat pembaca yang dimuat di Koran Nasional Kompas yang mengeluhkan praktik bank syariah. Isi surat tersebut demikian: “Bank syariah sama sekali tidak menanggung risiko apapun, malah menikmati untung amat besar di atas kerugian nasabahnya. Aset yang saya investasikan di Bank Syariah dalam waktu hanya tiga bulan hampir lenyap. Ketika akan memperpanjang investasi itu saya dikenai biaya ujrah Rp 1,5 juta per hari. Saya terperangkap dalam sebuah produk mengerikan”.

Tragedi di atas adalah satu contoh dari sekian banyak tamsil tentang ketidakpuasan nasabah terhadap layanan bank berbasis Syariah. Tentu masih banyak contoh serupa yang menandakan bahwa gerakan ekonomi Syariah di nusantara ini hingga kini masih mengutamakan bentuk dengan mengabaikan isi. Para penggiat ekonomi Syariah masih suka menonjolkan atribut-atribut Syariah dengan tidak terlalu mengutamakan nilai-nilai Syariah itu sendiri.

Fenomena ini merupakan masalah yang serius yang melanda umat Islam pada umumnya dan penggiat ekonomi Syariah pada khususnya yang segera wajib ditanggulangi. Jalan keluarnya adalah kita harus punya keberanian untuk melakukan terobosan sehingga antara bentuk dan isi saling mendukung. Mengapa semuanya masih terjadi, khusunya di lembaga keuangan syariah? Jawabannya sangat sederhana karena umat Islam lebih terpaku dan terpukau oleh bentuk dengan mengabaikan isi.

Oleh: Ahmad Ubaidillah) Penulis adalah:Dosen Ekonomi Syariah pada Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Lamongan (UNISLA), Jawa Timur

https://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2018/02/21/338080/menyoal-gerakan-ekonomi-syariah-indonesia/

Dualisme, Kaya dan Miskin

TIDAK bisa disangkal kebenarannya bahwa Kehidupan dunia selalu mengandung realitas yang berlainan. Kapan pun dan di mana pun, sejarah kehidupan manusia tidak terlepas dari kata “dualisme”. Baik-buruk, penguasa-rakyat, besar-kecil, tinggi-pendek, adalah beberapa contoh dari sekian banyak tamsil tentang fakta bahwa sejarah manusia senantiasa diliputi oleh perbedaan-perbedaan yang saling bertentangan.

Ketidaksamaan dalam kehidupan ini akan membawa malapetaka manakala tidak dikelola dengan baik oleh manusia itu sendiri. Tulisan ini akan mengulas contoh terakhir yang saya berikan di atas: Kaya dan miskin.

Dalam kehidupan, kita seringkali menjumpai realitas dualistis akibat ketidakmerataan ekonomi. Di satu sisi, ada orang yang kalau pergi ke mana-mana dengan kendaraan mewah. Di sisi lain, ada orang yang kalau pergi ke tempat tujuan naik dengan sepeda, angkutan umum, atau bahkan berjalan kaki.

Di satu pihak, si A kalau malam tidur di rumah mewah dengan kasur empuknya. Di pihak lain, ada si B yang setiap malam tidurnya di bawah kolong jembatan dengan tikar lusuhnya. Secara singkat dapat kita katakan:  Ada si kaya dan ada si miskin. Inilah kenyataan-kenyataan hidup  akibat ketidakmerataan ekonomi yang kerap kali kita temui.

Pada saat orang-orang di berbagai penjuru dunia bangun setiap pagi untuk menyonsong hari yang baru, masing-masing dari mereka melakukannya dalam kondisi yang sangat berbeda. Sebagian hidup di rumah yang indah dan nyaman dengan sekian kamar berukuran luas, plus anaka perlengkapannya. Mereka memiliki persediaan pangan yang lebih dari cukup, pakaian yang serba bagus, kondisi kesehatan yang prima, dan kondisi keuangan yang serba berkecukupan

Sebagian lainnya, mereka yang berjumlah lebih dari tiga perempat total penduduk dunia atau sekita 6 miliar jiwa, nasibnya jauh kurang beruntung karena sehari-harinya harus hidup dalam kondisi serba kekurangan. Mereka tidak memiliki rumah sendiri, dan kalaupun punya, ukurannya sangat kecil. Persediaan makanan yang ada juga acapkali tidak memadai. Kondisi kesehatan mereka pada umumnya tidak begitu baik atau bahkan buruk serta sakit-sakitan. Tidak sedikit dari mereka yang buta huruf dan mengganggur. Masa depan mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik biasanya suram, atau sekurang-kurangnya tidak menentu.

Inilah yang terjadi di kawasan-kawasan dunia, dan mungkin pula terjadi di negara kita Indonesia. Raanan Weitz (1986) mengatakan “meskipun seluruh manusia menghuni satu planet yang sama, planet ini sebenarnya terbagi menjadi dua dunia, yakni dunia orang-orang kaya dan dunia orang-orang mskin”.

Pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan bersama terkait kesenjangan ekonomi tersebut adalah: Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa hanya sedikit orang kaya di dunia ini sedangkan orang miskin begitu melimpah?

Beragam faktor yang menyebabkan perbedaan-perbedaan status ekonomi semacam ini muncul dalam kehidupan kita. Bagi si kaya, memiliki keahlian tertentu, pendidikan yang berkualitas, atau mempunyai relasi yang strategis adalah pintu masuk menuju seseorang mendapat perkerjaan yang pada akhirnya membuatnya berlimpa kekayaan.

Sebaliknya, bagi si miskin, ketiadaan pendidikan berkualitas atau ketidakmampuan membangun relasi yang baik bisa mengantarkannya pada posisi serba kekurangan. Kita juga tidak boleh lupa bahwa penyebab ketidaksamaan pendapatan yang berujung pada kemiskinan ini bisa terjadi karena ketidakmampuan negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyaknya. Untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar diperlukan pendidikan yang baik. Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dibutuhkan uang untuk membayar biaya pendidikan.  Pada titik inilah, orang-orang miskin biasanya kesulitan untuk menjadi kaya.

Oleh sebab itu, kesadaran individu memegang peranan yang sangat penting dalam mengurangi kesenjangan ekonomi tersebut. Sesuatu yang mudah untuk diberikan kepada mereka yang kurang beruntung adalah uang. Sebagai bahan reflektif, uang sebenarnya bermuka dua (baca: dualisme). Ia berada dalam “antara”. Ia bisa membuat manusia mulia dan hina sekaligus. Orang yang memilki banyak uang yang kemudian menjadikannya sebagai alat untuk mengangkat kondisi kaum miskin akan mendapatkan kemuliaan. Sebaliknya, orang yang mempunyai banyak uang, tetapi disimpan untuk kepentinganya sendiri, akan mendapatkan kehinaan. Bandingkan misalnya orang yang pelit dangan yang dermawan.

Selain perlunya kesadaran individual, dibutuhkan pula etika. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah: etika terpenting apa yang perlu diperhatikan guna menyelesaikan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin tersebut? Menurut hemat saya, etika tersebut adalah the common goods atau kebaikan bersama.

Pengertian ini berasal dari pemikiran filsuf Yunani kuno Aristoteles, yang dikembangkan lebih lanjut pada Abad Pertengahan oleh Thomas Aquinas dan sekarang semakin dikaui aktualitasnya dalam konteks politik-ekonomi. Kebaikan bersama ini merujuk pada apa yang baik untuk seluruh masyarakat, bukan untuk beberapa individu atau kelompok saja.

Dalam paham kebaikan bersama, hak-hak individu tetap diakui, tetapi tidak sebagai instansi terakhir, karena semua hak individual harus digabungkan pada taraf lebih tinggi dalam kebaikan bersama. Kerana itu, intervensi negara tetap diperlukan, juga di bidang ekonomi, tetapi intervensi dan pengaturan itu selalu berpedoman pada kebaikan bersama. Misalnya saja, negara tidak boleh membiarkan pemilik modal besar sewenang-wenang membangun perusahaan yang merugikan masyarakat sekitar dengan merusak lingkungan. Di sinilah tugas negara sangat diperlukan untuk mengendalikan orang-orang kaya yang bernafsu mengeskploitasi masyarakat miskin. (ila)

*Penulis merupakan Dosen Ekonomi Syariah pada Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan (UNISLA).Opini

https://radarjogja.jawapos.com/opini/2020/06/30/dualisme-kaya-dan-miskin/

Dijebak

Saat membaca Koran atau menonton TV, saya seringkali mendengar kata “dijebak”, yang diucapkan koruptor saat setelah tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kata itu rasa-rasanya kata ampuh untuk membuktikkan bahwa mereka tak berbuat atau tak sengaja berbuat korup. Contoh: terdakwa kasus korupsi KTP elektronik (KTP-el), Setya Novanto. Ia merasa dijebak oleh Direktur PT Biomorf Lone Indonesia, Johannes Marliem.

Skandal teranyar, kasus dugaan penerimaan suap terkait penggunaan Dana Otonomi Khusus Aceh Tahun Anggaran 2018. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, tersangkanya, juga mengaku dijebak pihak tertentu dalam kasus ini.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “dijebak” berasal dari kata “jebak”, yang memiliki arti: (1) sangkar untuk memikat atau menangkap binatang; perangkap: (2) alat (rayuan dan sebagainya) yang digunakan untuk memikat atau melemahkan musuh dan sebagainya. Asal simpul saya, yang dijebak itu, kalau tidak binatang, ya musuh. Di rumah saya, mungkin di rumah Anda juga, banyak tikus berkeliaran. Mereka mencuri lauk pauk yang dtaruh di meja makan. Mereka juga membuat barang-barang yang tertata rapi menjadi berantarakan. Karena seringnya menciptakan onar, orang rumah memasang perangkap, tapi tidak berhasil. Mungkin tikus di rumah saya paham kalau ia sedang dijebak.

Berlanjut ke urusan korupsi. Sebelum ditangkap KPK, pihak yang menjebak pejabat, mungkin menganggap korbannya itu sebagai binatang atau musuh, sehingga harus dijebak. Harus dimusnakan. Saya jadi berpikir, apa tidak sebaiknya, pejabat-pejabat bermental korup itu banyak-banyak belajar dari kecerdikan tikus di rumah saya, yang biasanya berenang di air comberan itu. Kalau memang menjadi tikus kantor membuat sial, mengapa tidak mencoba jadi tikus got.    

Tak berlebihan, kalau kita sebut bangsa Indonesia, juga bangsa para pencuri. Itu kalau kita bicara urusan “permalingan”. Mulai dari pencuri jemuran tetangga hingga maling harta negara. Ada pencuri kelas ecek-ecek dengan strategi yang tak terlalu rumit dan jlimet. Ada pencuri berkelas tinggi yang butuh strategi yang sangat sistematis dan canggih. Tetapi sayang sekali, untuk pencuri kategori kedua (maling harta negara), ganjaran awalnya tak seperti pencuri tipe pertama, yang seringkali dihajar babak belur terlebih dahulu oleh massa, sebelum akhirnya masuk ruang pesakitan.

Saya bermisal-misal, halaman depan koran atau televisi tertulis, “Koruptor Dihajar Babak Belur oleh Massa”. Tetapi saya yakin, ini tidak mungkin terjadi. Entah masyarakat yang takut menghajar koruptor atau koruptornya yang memang seperti tikus yang lihai mengecoh kucing, sehingga belum perlu dalam sejarah umat manusia ada koruptor babak belur dihajar oleh masayarakat. Padahal, tak diragukan lagi, baik pencuri rendahan maupun pencuri kelas gedean, sama-sama maling yang seharusnya mendapat perlakuan sama.Menemukan rasa keadilan di negeri hukum bernama Indonesia memang tidak mudah. Sama tak mudahnya dengan mencari jarum di tengah lautan. Putusan atau vonis seringkali tidak pernah membuat para pelanggar jerah, terutama pelanggar hukum berat. Hukum, yang berfungsi sebagai alat untuk “mengkapokkan” mereka yang bersalah, tak jarang justru dipermainkan oleh penegak hukum. Jual-beli pasal pun terjadi.

Pengacara bukan membela hukumnya, tapi membela klaiennya. Akibatnya, hukum tidak lagi berwibawa dan cenderung bersifat remeh-temeh.
Tentu saja realitas penegakan hukum seperti ini tidak mengajarkan pendidikan hukum bagi publik. Justru yang terjadi adalah pembangkangan hukum oleh masyarakat. Rakyat tidak lagi percaya pada penegak hukum. Pada akhirnya, dramaturgi penegakan hukum yang rusak ini akan menggiring ke arah pengerdilan hukum. Hukum tidak lagi tampil garang, melainkan sudah berubah menjadi badut-badut yang siap menghibur para penonton pertunjukan hukum. Anehnya, berbagai upaya meremeh-remehkan hukum di negeri ini terus saja dilakukan tanpa ada penghentian secara tegas dan berani dari seorang presiden sebagai pemimpin bangsa dan negara. Presiden seakan tidak berdaya menghadapi semua ini. Tuntutan para intelektual, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat akar rumput yang mencoba menghentikan ambruknya penegakan hukum sudah sering digaungkan. Namun, kenyataannya masih jauh dari harapan.

Cita-cita menegakkan wibawa hukum hanya tinggal cita-cita tanpa ada wujudnya. Reformasi sebagai “pintu masuk” menegakkan supremasi hukum dan memberantas berbagai tindakan penyelewengan, masih saja sebatas retorika politik jualan kecap para pejabat di negeri ini.Kekuatan hukum tidak mampu menyeret para penjahat kera putih. Kekuataan hukum hanya mampu mengadili penjahat-penjahat kelas teri. Maling uang negara dihukum dengan ringan bahkan dibiarkan bebas. Sementara maling ayam diproses secara ketat dan dihukum berat. Padahal, satus mereka adalah sama, yatu maling yang harus diadili.
Sementara itu, kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus hukum, misalnya korupsi, masih menjadi bagian dari masalah penegakan hukum. Mereka melempen menghadapi “siluman-siluman hukum” dengan modal uang dan kekuasaannya. Sungguh sangat ironis dan menyedihkan. Negara dalam darurat banalitas hukum dan kehancuran peradaban. Di sinilah kita menyaksikan baju kekuasaan dan uang membuat dosa semakin berkuasa. Belum lagi, kemerdekaan penjahat, terutama koruptor, diberikan saat setiap Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia berupa remisi.

Maka, sudah saatnya realitas rapuh dan tidak bermutunya penegakan hukum yang mengakibatkan rendahnya peradaban bangsa harus disikapi secara radikal oleh seluruh elemen bangsa (pemerintah, masyarakat, tokoh agama, intelektual dan sebagainya) demi perubahan peradaban yang lebih baik. Negara dengan seluruh komponennya perlu bersinergi secara serius dan konsisten menegakkan hukum dengan budaya yang luhur. Penegakan hukum secara adil dan tidak memihak harus diperjuangkan demi tercapainya peradaban bangsa yang tinggi.Tak kalah penting, para penegak hukum harus memiliki landasan moral yang tinggi dalam menegakkan hukum. Wibawa hukum harus benar-benar dijunjung tinggi. Jangan sampai hukum mendapat citra buruk dari masyarkat karena perilaku para penegak hukum yang tidak beradab, remeh-temeh dan banal.

(Oleh: Ahmad Ubaidillah) Penulis adalah Dosen Ekonomi Syariah pada Fakultas Agama Islam,Universitas Islam Lamongan (UNISLA)

https://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2018/08/31/358124/dijebak/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *