“Jelas mereka harus berbeda dengan kader FoSSEI yang lain yang belum ikut pengkaderan. Harus lebih baik secara karakter, kepemimpinan, dan pola berpikirnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Tsaniah, kader lulusan FLC harus selalu menjaga kefigurannya dan terus berupaya lebih baik kedepan agar bisa menjadi role model dari kader-kader yang lain dan menjadi sosok panutan yang disegani oleh kader-kader lainnya.
Sementara itu Koordinator Regional FoSSEI Jatim, M. Taufik Kurohman, S.E dalam sambutannya mengaku bangga atas antusias kader dari berbagai kampus di Jawa Timur dalam mengikuti agenda FLC 2023 ini.
“Semoga apa yang telah didapatkan di agenda ini dapat bermanfaat dan diamalkan nantinya untuk pengembangan ekonomi islam di Indonesia,” tuturnya.
Untuk diketahui rentetan acara FLC 2023 dimulai dengan pembukaan yang langsung dibuka oleh Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unisla, Dr. Winarto Eka Wahyudi, M.Pd.I, dilanjut dengan diskusi publik, penyampaian materi-materi, SGD (Small Group Discussion), Outbound dan penutupan. (*)
Gandeng Hima Prodi ES Unisla, FoSSEI Jatim Bangun SDM Anggota
TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Himpunan Mahasiswa (Hima) Program Studi (Prodi) Ekonomi Syariah (ES) Universitas Islam Lamongan (Unisla) berkesempatan menjadi tuan rumah kegiatan Research Learning Camp (RLC) yang diselenggarakan secara online oleh Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI), Jawa Timur Sabtu, (26/3/2022).
Menurut Tsaniah Lailatul Arofah, Ketua Pelaksana, kegiatan dengan tema “Improvement of Research and Sharia Bank Literacy to Achieve Indonesian Sustainable Economy” diikuti oleh anggota FoSSEI Jawa Timur.
“Para peserta ini merupakan delegasi terbaik Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) se-Jawa Timur yang akan mengikuti perlombaan di Temu Ilmiah Regional (TEMILREG) dan dilanjutkan pada Temu Ilmiah Nasional (TEMILNAS),” katanya.
Lebih lanjut Tsaniah menjelaskan, kegiatan RLC bertujuan untuk mengukur sejauh mana pengetahuan terkait Ekonomi Islam yang dimiliki anggota FoSSEI.
“RLC hadir untuk menjawab kegelisahan para anggota KSEI yang kurang percaya diri dengan tingkat keilmuannya dalam mengikuti TEMILREG dan TEMILNAS,” ucap Tsaniah.
Kegiatan ini, sambung Tsaniah, dikonsep sedemikian rupa sehingga mirip dengan bimbingan. “Ada tiga program, bimbingan KTI, bimbingan business plan, dan bimbingan Olimpiade Ekonomi Islam,” ujarnya.
Tsaniah berharap, dari adanya kegiatan ini, kemampuan para Ekonom Rabbani bisa ter-improve. “Bukan sekedar harapan ketika RLC sudah dipuncak penutupan acara, tapi melainkan menjadi suatu keinginan peserta yang mengikuti ini bisa mewujudkan dari tiga hal yang sudah menjadi ciri khas dari acara RLC FoSSEI yaitu Ukhuwah, Dakwah dan Ilmiah,” tuturnya. (*)
https://www.timesindonesia.co.id/read/news/403130/gandeng-hima-prodi-es-unisla-fossei-jatim-bangun-sdm-anggotahttps://www.timesindonesia.co.id/read/news/403130/gandeng-hima-prodi-es-unisla-fossei-jatim-bangun-sdm-anggota
Dr Tika Bagikan Tips Generasi Kece Anti Kere dalam Webinar ES Unisla
Tim penyusun “Buku Gaul Keuangan Syariah” membagikan tips menjadi generasi yang kece namun tidak kere dalam webinar yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK), bekerjasama program Studi Ekonomi Syariah (ES) Universitas Islam Lamongan
Dr Tika Widiastuti, menjelaskan bahwa kehidupan yang serba syari dipastikan akan membawa rezeki. “Al-Qur’an memang penting untuk dibaca agar mendapatkan nilai ibadah,” katanya memaparkan dalam webinar, Kamis, (15/10/2020).
Namun, Tika menambahkan, yang paling penting lagi adalah mengamalkan isi dari Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
“Yang penting juga, kalau ada kelebihan uang, sisihkan untuk membayar kewajiban zakat, termasuk shodaqoh yang hukumnya sunnah,” ujarnya. Baginya, dalam zakat dan shodaqoh terdapat potensi untuk mensejahterakan umat. Dan dalam setiap harta yang dimiliki, disana terdapat surga.
Perkuat Literasi Keuangan Syariah, Unisla Sasar Muslim Milenial
Universitas Islam Lamongan (Unisla) menyasar kalangan milenial untuk dikenalkan dengan keuangan syariah. Kali ini yang menjadi bidikan adalah para siswa MAN 1 Lamongan. Bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Madinah Lamongan, Program Studi (Prodi) Ekonomi Syariah (ES) memberikan edukasi dan literasi keuangan syariah ke siswa MAN 1 Lamongan.
“Siswa MAN 1 Lamongan, sebagai generasi potensial diharapkan mampu mengembangkan keuangan berbasis syariah,” kata Ahmad Najikh, M.Ag, Kepala MAN 1 Lamongan, saat membuka acara, di Aula MAN 1 Lamongan, Jum’at (20/09/2019).
Sementara itu, Moh. Ah. Subhan ZA, MEI, Ketua Prodi ES mengaku siswa MAN 1 Lamongan sebagai muslim milenial, memang sengaja diberikan edukasi keuangan syariah.
“Sebagai generasi penerus, muslim milenial harus dikenalkan dengan keuangan syariah. Karena di tangan merekalah keuangan syariah akan berkembang,” katanya.
Subhan, menilai, keuangan syariah akan berkembang dengan pesat di masa mendatang. Ia optimis generasi milenial akan memilih sistem berbasis syariah dalam bertransaksi, terutama keuangan.
“Karena itu, Prodi Ekonomi Syariah Unisla telah mengadakan MoU dengan BPRS Madinah Lamongan untuk sosialisasi lembaga keuangan syariah,” ucap Subhan.
Prodi Ekonomi Syariah Unisla Bangun Jaringan Muslim Milenial
Untuk memperkuat tali persaudaraan dan memperkokoh jaringan antar pemuda dan pelajar di Kabupaten Lamongan, Program Studi (Prodi) Ekonomi Syariah, Universitas Islam Lamongan (Unisla) menggelar sharia economic competition 2020 tingkat SMA sederajat se Kabupaten Lamongan.
Ah. Subhan ZA, Ketua Prodi Ekonomi Syariah Unisla menjelaskan, melalui kompetisi seperti ini, Unisla berharap, jaringan ekonomi muslim milenial, khususnya di Lamongan, bisa terjalin dengan baik dan kokoh. “Kan mereka bisa bertemu, berkenalan dan bertukar pikiran melalui kompetisi ini,” ujar Subhan di tengah-tengah kesibukannya memantau kompetisi yang menjadi salah satu rangkaian kegiatan Festival Ekonomi Syariah, di Auditorium Unisla, Sabtu, (4/1/2020).
Lebih lanjut Ia menuturkan, tanpa jaringan yang baik, muslim milenial tidak akan mampu bekerjasama dengan baik. Bahkan mereka akan bekerja secara individu, tidak melui kerjasama.
“Dengan kegiatan kompetisi semacam ini dan dari sini, Unisla bertekad membangun jaringan ekonomi muslim milenial yang kuat dan kokoh, sehingga kita bisa terus berkomunikasi dan berkordinasi,” kata Subhan.
Untuk diketahui, dalam kompetisi ini dewan juri yang berisikan Ah Subhan ZA, Akmalur Rijal, Mochammad Afif, dan Ahmad Ubaidillah, memutuskan SMKN 1 Lamongan keluar sebagai juara 1, disusul dua tim dari SMK NU 2 Glagah sebagai juara 2 dan juara 3.
Prodi Ekonomi Syariah Unisla Perkuat Ekonomi Kreatif Muslim Milenial
Program Studi (Prodi) Ekonomi Syariah, Universitas Islam Lamongan (Unisla) terus mempersiapkan generasi muslim milenial yang kokoh di bidang ekonomi. atu diantara cara yang ditempuh untuk penguatan itu, dengan jalan menggelar seminar nasional dengan tema “Ekonomi Kreatif Generasi Milenial Syariah Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0”, di Auditorium Unisla, Jumat, (3/1/2020).
“Kita berupaya untuk ikut mempersiapkan generasi milenial yang kokoh di bidang ekonomi,” ucap H Bambang Eko Muljono, Rektor Unisla, saat memberikan sambutan.
Seminar yang menghadirkan, Dr Iskandar Ritonga, Ketua DPW IAEI Jawa Timur dan Moch Ghozali, CEO NUJEK ini, diikuti oleh siswa SMA/SMK se Kabupaten Lamongan, mahasiswa perwakilan kampus sekitar, dan seluruh mahasiswa Ekonomi Syariah Unisla.
Ketua panitia, Akmalul Rijal menuturkan muslim milenial sangat berpotensi untuk memperkuat Islam di bidang ekonomi, terutama ekonomi kreatif.
“Potensi muslim milenial kita cukup besar, terutama di bidang ekonomi kreatif,” kata Akmal di sela-sela seminar nasional yang merupakan rangkaian kegiatan Prodi Ekonomi Syariah Unisla yang melibatkan muslim milenial.
Ia sangat optimis, kreativitas muslim milenial di bidang ekonomi kreatif bisa diandalkan untuk memperkuat perekonomian umat Islam di Indonesia.”Karena itu, kesadaran dan kreativitas muslim milenial harus selalu diasah dan distimuli, termasuk melalui seminar maupun workshop kewirausahaan,” ujar Akmal.
Dualisme, Kaya dan Miskin
Oleh: Ahmad Ubaidillah
Radar Jogja
TIDAK bisa disangkal kebenarannya bahwa Kehidupan dunia selalu mengandung realitas yang berlainan. Kapan pun dan di mana pun, sejarah kehidupan manusia tidak terlepas dari kata “dualisme”. Baik-buruk, penguasa-rakyat, besar-kecil, tinggi-pendek, adalah beberapa contoh dari sekian banyak tamsil tentang fakta bahwa sejarah manusia senantiasa diliputi oleh perbedaan-perbedaan yang saling bertentangan.
Ketidaksamaan dalam kehidupan ini akan membawa malapetaka manakala tidak dikelola dengan baik oleh manusia itu sendiri. Tulisan ini akan mengulas contoh terakhir yang saya berikan di atas: Kaya dan miskin.
Dalam kehidupan, kita seringkali menjumpai realitas dualistis akibat ketidakmerataan ekonomi. Di satu sisi, ada orang yang kalau pergi ke mana-mana dengan kendaraan mewah. Di sisi lain, ada orang yang kalau pergi ke tempat tujuan naik dengan sepeda, angkutan umum, atau bahkan berjalan kaki.
Di satu pihak, si A kalau malam tidur di rumah mewah dengan kasur empuknya. Di pihak lain, ada si B yang setiap malam tidurnya di bawah kolong jembatan dengan tikar lusuhnya. Secara singkat dapat kita katakan: Ada si kaya dan ada si miskin. Inilah kenyataan-kenyataan hidup akibat ketidakmerataan ekonomi yang kerap kali kita temui.
Pada saat orang-orang di berbagai penjuru dunia bangun setiap pagi untuk menyonsong hari yang baru, masing-masing dari mereka melakukannya dalam kondisi yang sangat berbeda. Sebagian hidup di rumah yang indah dan nyaman dengan sekian kamar berukuran luas, plus anaka perlengkapannya. Mereka memiliki persediaan pangan yang lebih dari cukup, pakaian yang serba bagus, kondisi kesehatan yang prima, dan kondisi keuangan yang serba berkecukupan.
Sebagian lainnya, mereka yang berjumlah lebih dari tiga perempat total penduduk dunia atau sekita 6 miliar jiwa, nasibnya jauh kurang beruntung karena sehari-harinya harus hidup dalam kondisi serba kekurangan. Mereka tidak memiliki rumah sendiri, dan kalaupun punya, ukurannya sangat kecil. Persediaan makanan yang ada juga acapkali tidak memadai. Kondisi kesehatan mereka pada umumnya tidak begitu baik atau bahkan buruk serta sakit-sakitan. Tidak sedikit dari mereka yang buta huruf dan mengganggur. Masa depan mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik biasanya suram, atau sekurang-kurangnya tidak menentu.
Inilah yang terjadi di kawasan-kawasan dunia, dan mungkin pula terjadi di negara kita Indonesia. Raanan Weitz (1986) mengatakan “meskipun seluruh manusia menghuni satu planet yang sama, planet ini sebenarnya terbagi menjadi dua dunia, yakni dunia orang-orang kaya dan dunia orang-orang mskin”.
Pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan bersama terkait kesenjangan ekonomi tersebut adalah: Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa hanya sedikit orang kaya di dunia ini sedangkan orang miskin begitu melimpah?
Beragam faktor yang menyebabkan perbedaan-perbedaan status ekonomi semacam ini muncul dalam kehidupan kita. Bagi si kaya, memiliki keahlian tertentu, pendidikan yang berkualitas, atau mempunyai relasi yang strategis adalah pintu masuk menuju seseorang mendapat perkerjaan yang pada akhirnya membuatnya berlimpa kekayaan.
Sebaliknya, bagi si miskin, ketiadaan pendidikan berkualitas atau ketidakmampuan membangun relasi yang baik bisa mengantarkannya pada posisi serba kekurangan. Kita juga tidak boleh lupa bahwa penyebab ketidaksamaan pendapatan yang berujung pada kemiskinan ini bisa terjadi karena ketidakmampuan negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyaknya. Untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar diperlukan pendidikan yang baik. Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dibutuhkan uang untuk membayar biaya pendidikan. Pada titik inilah, orang-orang miskin biasanya kesulitan untuk menjadi kaya.
Oleh sebab itu, kesadaran individu memegang peranan yang sangat penting dalam mengurangi kesenjangan ekonomi tersebut. Sesuatu yang mudah untuk diberikan kepada mereka yang kurang beruntung adalah uang. Sebagai bahan reflektif, uang sebenarnya bermuka dua (baca: dualisme). Ia berada dalam “antara”. Ia bisa membuat manusia mulia dan hina sekaligus. Orang yang memilki banyak uang yang kemudian menjadikannya sebagai alat untuk mengangkat kondisi kaum miskin akan mendapatkan kemuliaan. Sebaliknya, orang yang mempunyai banyak uang, tetapi disimpan untuk kepentinganya sendiri, akan mendapatkan kehinaan. Bandingkan misalnya orang yang pelit dangan yang dermawan.
Selain perlunya kesadaran individual, dibutuhkan pula etika. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah: etika terpenting apa yang perlu diperhatikan guna menyelesaikan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin tersebut? Menurut hemat saya, etika tersebut adalah the common goods atau kebaikan bersama.
Pengertian ini berasal dari pemikiran filsuf Yunani kuno Aristoteles, yang dikembangkan lebih lanjut pada Abad Pertengahan oleh Thomas Aquinas dan sekarang semakin dikaui aktualitasnya dalam konteks politik-ekonomi. Kebaikan bersama ini merujuk pada apa yang baik untuk seluruh masyarakat, bukan untuk beberapa individu atau kelompok saja.
Dalam paham kebaikan bersama, hak-hak individu tetap diakui, tetapi tidak sebagai instansi terakhir, karena semua hak individual harus digabungkan pada taraf lebih tinggi dalam kebaikan bersama. Kerana itu, intervensi negara tetap diperlukan, juga di bidang ekonomi, tetapi intervensi dan pengaturan itu selalu berpedoman pada kebaikan bersama. Misalnya saja, negara tidak boleh membiarkan pemilik modal besar sewenang-wenang membangun perusahaan yang merugikan masyarakat sekitar dengan merusak lingkungan. Di sinilah tugas negara sangat diperlukan untuk mengendalikan orang-orang kaya yang bernafsu mengeskploitasi masyarakat miskin. (ila)
*Penulis merupakan Dosen Ekonomi Syariah pada Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan (UNISLA).
https://radarjogja.jawapos.com/opini/2020/06/30/dualisme-kaya-dan-miskin/
Dijebak
Saat membaca Koran atau menonton TV, saya seringkali mendengar kata “dijebak”, yang diucapkan koruptor saat setelah tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kata itu rasa-rasanya kata ampuh untuk membuktikkan bahwa mereka tak berbuat atau tak sengaja berbuat korup. Contoh: terdakwa kasus korupsi KTP elektronik (KTP-el), Setya Novanto. Ia merasa dijebak oleh Direktur PT Biomorf Lone Indonesia, Johannes Marliem.
Skandal teranyar, kasus dugaan penerimaan suap terkait penggunaan Dana Otonomi Khusus Aceh Tahun Anggaran 2018. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, tersangkanya, juga mengaku dijebak pihak tertentu dalam kasus ini.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “dijebak” berasal dari kata “jebak”, yang memiliki arti: (1) sangkar untuk memikat atau menangkap binatang; perangkap: (2) alat (rayuan dan sebagainya) yang digunakan untuk memikat atau melemahkan musuh dan sebagainya. Asal simpul saya, yang dijebak itu, kalau tidak binatang, ya musuh. Di rumah saya, mungkin di rumah Anda juga, banyak tikus berkeliaran. Mereka mencuri lauk pauk yang dtaruh di meja makan. Mereka juga membuat barang-barang yang tertata rapi menjadi berantarakan. Karena seringnya menciptakan onar, orang rumah memasang perangkap, tapi tidak berhasil. Mungkin tikus di rumah saya paham kalau ia sedang dijebak.
Berlanjut ke urusan korupsi. Sebelum ditangkap KPK, pihak yang menjebak pejabat, mungkin menganggap korbannya itu sebagai binatang atau musuh, sehingga harus dijebak. Harus dimusnakan. Saya jadi berpikir, apa tidak sebaiknya, pejabat-pejabat bermental korup itu banyak-banyak belajar dari kecerdikan tikus di rumah saya, yang biasanya berenang di air comberan itu. Kalau memang menjadi tikus kantor membuat sial, mengapa tidak mencoba jadi tikus got.
Tak berlebihan, kalau kita sebut bangsa Indonesia, juga bangsa para pencuri. Itu kalau kita bicara urusan “permalingan”. Mulai dari pencuri jemuran tetangga hingga maling harta negara. Ada pencuri kelas ecek-ecek dengan strategi yang tak terlalu rumit dan jlimet. Ada pencuri berkelas tinggi yang butuh strategi yang sangat sistematis dan canggih. Tetapi sayang sekali, untuk pencuri kategori kedua (maling harta negara), ganjaran awalnya tak seperti pencuri tipe pertama, yang seringkali dihajar babak belur terlebih dahulu oleh massa, sebelum akhirnya masuk ruang pesakitan.
Saya bermisal-misal, halaman depan koran atau televisi tertulis, “Koruptor Dihajar Babak Belur oleh Massa”. Tetapi saya yakin, ini tidak mungkin terjadi. Entah masyarakat yang takut menghajar koruptor atau koruptornya yang memang seperti tikus yang lihai mengecoh kucing, sehingga belum perlu dalam sejarah umat manusia ada koruptor babak belur dihajar oleh masayarakat. Padahal, tak diragukan lagi, baik pencuri rendahan maupun pencuri kelas gedean, sama-sama maling yang seharusnya mendapat perlakuan sama.Menemukan rasa keadilan di negeri hukum bernama Indonesia memang tidak mudah. Sama tak mudahnya dengan mencari jarum di tengah lautan. Putusan atau vonis seringkali tidak pernah membuat para pelanggar jerah, terutama pelanggar hukum berat. Hukum, yang berfungsi sebagai alat untuk “mengkapokkan” mereka yang bersalah, tak jarang justru dipermainkan oleh penegak hukum. Jual-beli pasal pun terjadi.
Pengacara bukan membela hukumnya, tapi membela klaiennya. Akibatnya, hukum tidak lagi berwibawa dan cenderung bersifat remeh-temeh.
Tentu saja realitas penegakan hukum seperti ini tidak mengajarkan pendidikan hukum bagi publik. Justru yang terjadi adalah pembangkangan hukum oleh masyarakat. Rakyat tidak lagi percaya pada penegak hukum. Pada akhirnya, dramaturgi penegakan hukum yang rusak ini akan menggiring ke arah pengerdilan hukum. Hukum tidak lagi tampil garang, melainkan sudah berubah menjadi badut-badut yang siap menghibur para penonton pertunjukan hukum. Anehnya, berbagai upaya meremeh-remehkan hukum di negeri ini terus saja dilakukan tanpa ada penghentian secara tegas dan berani dari seorang presiden sebagai pemimpin bangsa dan negara. Presiden seakan tidak berdaya menghadapi semua ini. Tuntutan para intelektual, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat akar rumput yang mencoba menghentikan ambruknya penegakan hukum sudah sering digaungkan. Namun, kenyataannya masih jauh dari harapan.
Cita-cita menegakkan wibawa hukum hanya tinggal cita-cita tanpa ada wujudnya. Reformasi sebagai “pintu masuk” menegakkan supremasi hukum dan memberantas berbagai tindakan penyelewengan, masih saja sebatas retorika politik jualan kecap para pejabat di negeri ini.Kekuatan hukum tidak mampu menyeret para penjahat kera putih. Kekuataan hukum hanya mampu mengadili penjahat-penjahat kelas teri. Maling uang negara dihukum dengan ringan bahkan dibiarkan bebas. Sementara maling ayam diproses secara ketat dan dihukum berat. Padahal, satus mereka adalah sama, yatu maling yang harus diadili.
Sementara itu, kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus hukum, misalnya korupsi, masih menjadi bagian dari masalah penegakan hukum. Mereka melempen menghadapi “siluman-siluman hukum” dengan modal uang dan kekuasaannya. Sungguh sangat ironis dan menyedihkan. Negara dalam darurat banalitas hukum dan kehancuran peradaban. Di sinilah kita menyaksikan baju kekuasaan dan uang membuat dosa semakin berkuasa. Belum lagi, kemerdekaan penjahat, terutama koruptor, diberikan saat setiap Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia berupa remisi.
Maka, sudah saatnya realitas rapuh dan tidak bermutunya penegakan hukum yang mengakibatkan rendahnya peradaban bangsa harus disikapi secara radikal oleh seluruh elemen bangsa (pemerintah, masyarakat, tokoh agama, intelektual dan sebagainya) demi perubahan peradaban yang lebih baik. Negara dengan seluruh komponennya perlu bersinergi secara serius dan konsisten menegakkan hukum dengan budaya yang luhur. Penegakan hukum secara adil dan tidak memihak harus diperjuangkan demi tercapainya peradaban bangsa yang tinggi.Tak kalah penting, para penegak hukum harus memiliki landasan moral yang tinggi dalam menegakkan hukum. Wibawa hukum harus benar-benar dijunjung tinggi. Jangan sampai hukum mendapat citra buruk dari masyarkat karena perilaku para penegak hukum yang tidak beradab, remeh-temeh dan banal.
(Oleh: Ahmad Ubaidillah) Penulis adalah Dosen Ekonomi Syariah pada Fakultas Agama Islam,Universitas Islam Lamongan (UNISLA)
https://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2018/08/31/358124/dijebak/
Ekonomi Agama dan Problem Ekonomi
Solopos.com, SOLO — Tidak dapat disangkal bahwa banyak gerakan keagamaan yang memiliki agenda ekonomi. Gerakan ini muncul guna merekonstruksi sistem ekonomi yang dinilai tak sesuai dengan ketentuan agama mereka masing-masing.
Landasan berpikiranya adalah sistem ekonomi saat ini, terutama kapitalisme, dianggap gagal menyejahteran umat manusia. Oleh sebab itu, kita kerap kali mendengar ekonomi Kristen, sosialisme Buddha, ekonomi Hindu, atau ekonomi Islam.
Agenda utama ekonomi dari gerakan yang dibawa pemikir keagamaan tersebut terlihat berbeda dengan ekonomi konvensional (kapitalisme dan sosialisme). Setiap agenda ekonomi yang mereka usung memliki warisan dan ciri filosofis yang berbeda serta wacana yang unik.
Ekonomi keagamaan hampir tidak mau saling bertukar gagasan dan metode. Kita bisa membaca ribuan halaman literatur yang membahas ekonomi Islam, misalnya, yang tidak mau ”menyapa” referensi yang mengkaji ekonomi Kristen, dan begitu juga sebaliknya.
Ekonomi semacam ini mempunyai tujuan menggantikan pemikiran ekonomi sekuler. Berkaitan dengan ketidakmauan saling menyinggung ajaran masing-masing ekonomi ini, Timur Kuran dalam tulisan yang berjudul Fundamentalism dan the Economy mengamati setidaknya ada dua faktor.
Pertama, setiap doktrin ekonomi keagamaan itu menonjolkan kebaikan dan superioritas agama masing-masing. Kedua, setiap dontrin ekonomi keagamaan, terutama fundamentalistis, menampilkan bentuk ekspresi yang berbeda dan orang luar dapat menembus hanya dengan pelatihan.
Identitas
Sikap saling menjauhkan diri masing-masing doktrin ini sangat bertentangan dengan kesadaran yang diakui dan keterbukaan nyata terhadap pemikiran ekonomi sekuler. Dontrin ekonomi fundamentalis meminjam tradisi intelektual yang secara pura-pura mereka maksudkan untuk menggantikan sosialime marxian dan berbagai tradisi sekuler yang mempromosikan sistem ekonomi pasar.
Ekonomi keagamaan lebih senang menampilkan identitas ketimbang menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi umat mansia. Hampir semua ilmuwan setuju bahwa pemanasan global adalah fakta, namun menurut Yuval Noah Harari, sejarawan Israel dalam buku 21 Lessons for the 21st Century, tidak ada konsensus mengenai reaksi ekonomi terbaik untuk mengatasi ancaman ini.
Tulisan-tulisan suci kuno bukan panduan yang baik untuk ekonomi modern dan garis patahan utama, misalnya antara kapitalis dan sosialis, tidak sesuai dengan divisi antara agama-agama tradisonal.
Harari mengakui kebenaran tentang rabi-rabi dan ayatollah di negara Israel dan Iran, misalnya, yang memiliki pernyataan langsung tentang kebijakan ekonomi pemerintah, dan bahkan di negara-negara sekuler seperti Amerika Serikat dan Brasil.
Para pemimpin agama memengaruhi opini publik mengenai hal-hal mulai dari perpajakan hingga peraturan lingkungan, namun pada kenyataannya dalam sebagian besar kasus ini agama tradisonal hanya memainkan biola kedua (peran asisten) dari teori-teori sains modern.
Menyesatkan
Harari memberikan contoh. Ketika Ayatollah Khamenei membuat keputusan penting tentang ekonomi Iran, dia tidak akan menemukan jawaban yang diperlukan dalam Alquran karena orang Arab abad ketujuh hanya tahu sedikit tentang masalah dan peluang ekonomi industri modern dan pasar keuangan global.
Dia dan para pembantunya harus menengok Karl Marx, Milton Friedman, Friedrich Hayek, dan sains ekonomi modern untuk mendapatkan jawaban. Setelah memutuskan menaikkan suku bunga, menurunkan pajak, memprivatisasi monopoli pemerintah, atau menandatangani perjanjian tarif internasional, Khamenei kemudian menggunakan pengetahuan dan otoritas religiusnya untuk membungkus jawaban ilmiah dalam pakaian dari ayat Alquran dan menyampaikan kepada masyarakat sebagai kehendak Allah.
Pakaian ini menyesatkan. Ketika kita membandingkan kebijakan ekonomi Iran yang Syiah, Arab Saudi yang Sunni, Israel yang Yahudi, India yang Hindu, dan Amerika Serikat yang Kristen, baru kita bisa melihat bahwa tidak ada banyak perbedaan di antara mereka. Harari juga mengkritik para pemikir muslim, Yahudi, Hindu, dan Kristen yang selama abad ke-19 dan abad ke-20 mencerca materialisme modern, melawan kapitalisme yang tanpa jiwa, dan melawan akses-akses negara birokrasi.
Mereka, para pemikir keagamaan itu, berjanji bahwa jika saja mereka diberi kesempatan, mereka akan menyelesaikan semua masalah modernitas dan membangun sistem sosioekonomi yang sama sekali berbeda berdasarkan nilai-nilai spiritual abadi dari keyakinan mereka.
Saat mereka diberi beberapa kesempatan dan peluang, satu-satunya perubahan nyata yang mereka buat terhadap bangunan ekonomi modern hanya mengecat ulang dan menempatkan bulan sabit, salib, bintang daud berukuran besar di atap. Mereka tidak membongkar dan mengganti fondasi ekonomi modern dengan ekonomi berbasis keagamaan mereka masing-masing.
Tidak Relevan
Dalam urusan ekonomi, keahlian para ahli agama yang telah lama diasah dalam menafsirkan kembali teks-teks suci yang membuat agama menjadi tidak relevan. Dalam kasus Khamenei, tidak peduli kebijakan ekonomi mana yang dia pilih, dia selalu bisa mengaitkannya dengan Alquran.
Akibatnya, Alquran terdegradasi dari sumber pengetahuan sejati menjadi sumber otoritas belaka. Ketika kita menghadapi dilema ekonomi yang sulit, kita membaca Marx dan Hayek secara cermat, dan gagasan ekonomi mereka membantu kita memahami sistem ekonomi dengan lebih baik, melihat sesuatu dari sudut pandang baru, dan memikirkan solusi potensial.
Setelah merumuskan suatu jawaban, kita beralih ke Alquran dan kita membaca secara cermat untuk mencari beberapa surat yang, jika ditafsirkan dengan cukup imajinatif, dapat membenarkan solusi yang kita dapatkan dari Marx atau Hayek. Tidak peduli apa solusi yang kita temukan di sana, jika kita ahli Alquran yang baik, kita selalu dapat membenarkannya.Hal yang sama berlaku untuk agama Kristen. Seorang Kristen dapat menjadi kapitalis semudah menjadi sosialis dan meskipun beberapa hal yang dikatakan Yesus benar-benar berbau komunisme, namun selama perang dingin kapitalis Amerika Serikat yang saleh terus membaca khotbah di atas bukit tanpa banyak memerhatikan.
Intinya, tidak ada yang namanya ”ekonomi Kristen”, ”ekonomi Islam”, atau ”ekonomi Hindu”. Bukannya tidak ada ide ekonomi dalam Alkitab, Alquran, atau Weda. Hanya saja ide-ide ini tidak mutakhir, tidak relevan untuk menjawab tantangan ekonomi modern.
https://www.solopos.com/-957568
Ekonomi Islam dalam Krisis
PARA pemasok literatur ekonomi Islam telah sepakat bahwa ekonomi Islam, yang sangat memperhatikan persoalan-persoalan kemanusiaan, seperti keadilan, kemiskinan, dan pembangunan, menyiratkan perubahan paradigma dan alternatif yang fundamental terhadap pandangan ekonomi konvensional. Literatur ekonomi Islam yang ada saat ini tidak mencerminkan perspektif seradikal ini.
Penulis mengamati paling tidak terdapat dua jenis literatur yang berkembang saat ini. Pertama, literatur yang memperkenalkan konsep Islam dalam kerangka ekonomi konvensional, atau melakukan penyesuaian-penyesuaian sederhana, dan oleh karena itu, tidak dapat menawarkan perubahan paradigma. Kedua, sejumlah literatur yang membehas konsep penting yang diberikan Islam dalam pandangan filosofis secara umum tanpa menawarkan alat untuk mengaplikasikan konsep-konsep tersebut. Di sinilah kegagalan ekonomi Islam terjadi. Meskipun Islam memberikan kita pandangan kritis tentang bidang-bidang tersebut, kita telah gagal mewujudkannya dalam bentuk operasional.
Kita semua tahu bahwa ajaran Islam menganjurkan pemeluknya untuk memberi makan kaum miskin dan mengutuk orang-orang yang tidak melakukannya. Ekonom-ekonom Muslim mengangkat persoalan tersebut dalam tulisan-tulisannya dengan baik sebelum ekonomi mainstream memberikan perhatian terhadap isu tersebut. Akan tetapi, kita “berpartispasi” hanya dalam penciptaan literatur yang melimpah, literatur tentang kebutuhan dasar, pengukuran kemiskinan dan lain sebaginya. Bahkan, persoalan-persoalan penting ekonomi Islam, seperti pengaruh zakat terhadap kemiskinan, disajikan dalam bentuk argumentasi dan teori yang bersifat umum dengan sedikit perhatian pada efek empiris dan metode operasional pendayagunaan dana zakat untuk pengentasan kemiskinan.
Ekonom muslim
Menurut Alquran, kekayaan tidak boleh beredar di antara orang-orang kaya saja. Meskipun ekonom-ekonom Marxis dan lainnya memberikan perhatian pada konsentrasi kekayaan berikut bahayanya, ekonom-ekonom muslim sama sekali tidak memedulikannya. Ajaran Islam sangat menekankan pembelanjaan harta di jalan Allah. Ekonom-ekonom muslim belum melakukan studi yang sistematis tentang perilaku dermawan seorang muslim dan belum melakukan kajian tentang perbandingan antara masyarakat muslim dan nonmuslim terkait kontribusi sedekah ini.
Ekonom-ekonom muslim sangat memperhatikan konsep Homo Islamicus dan menganjurkan bahwa perilaku manusia dikendalikan oleh altruisme ketimbang kepentingan pribadi. Akan tetapi, tidak ada bukti empiris yang bisa kita lihat mengenai hal itu. Ekonom-ekonom bermoral menjelaskan bahwa dalam banyak kondisi, manusia akan menerima kerugian pribadi untuk mendapatkan tujuan yang lebih luas, seperti keadilan, persamaan, yang tentu ini bertentangan dengan ajaran-ajaran ekonomi konvensional.
Kegagalan ekonomi Islam semakin terlihat ketika ekonom Islam mempertahankan pemahaman ahistoris, bukan historis. Selama ini pemahaman kita mengenai kisah-kisah yang ditulis dalam Alquran cenderung sangat bersifat ahistoris, padahal maksud Alquran menceritakan kisah-kisah itu adalah justru menyuruh kita berpikir historis. Kita ambil contoh, misalnya tentang bangsa Israel yang tertindas pada zaman Firaun yang sering kita pahami pada konteks zaman itu. Kita tidak pernah berpikir bahwa apa yang disebut kaum tertindas itu sebenarnya ada di sepanjang zaman dan ada pada setiap sistem sosial.
Pada zaman feodalisme, kapitalisme, dan sosialisme, selalu terdapat apa yang disebut kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Oleh karena itu, sesunggunya kita harus menjelaskan siapakah golongan-golongan yang berapa pada posisi tertindas itu dalam sejarah, termasuk pada saat sekarang, yaitu pada sistem sosial ekonomi yang memungkinkan terjadinya konsentrasi kapital di tangan segelintir elite. Tamsil lainnya misalnya adalah bahwa di dalam sebuah ayat kita diperintahkan untuk “membebaskan mereka yang terbelunggu”. Dengan cara berpikir historis, kita akan dapat mengindetifikasi siapakah yang dimaksud sebagai golongan “yang terbelenggu” itu di dalam sistem ekonomi sekarang ini.
Sejak awal, ekonom Islam secara subtansial lebih memperhatian pengembangan moral dan spiritual manusia, dan tidak banyak memperhatikan pengembangan material. Cita-cita ini sangat melimpah terdapat dalam litertaur, namun aspek empiris dan operasional tidak dikembangkan. Akankah ekonomi Islam hanya kaya dalam literatur, tetapi miskin dalam implementasi? Kalau ini yang terjadi, pernyataan sebagian ekonom Islam bahwa ekonomi Islam telah mengalami krisis barangkali ada benarnya.
Perlu diatasi
Ekonomi Islam dalam krisis perlu diatasi. Oleh karena itu, ekonomi Islam harus bergulat dengan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi negara-negara muslim saat ini. Ekonomi Islam harus mampu menjelaskan dan menganalisis ilmu ekonomi warisan penjajahan masa lalu, dan mampu membuat kebijakan-kebijakan terkait masa depan ekonominya. Ekonomi Islam harus mampu menilai gap antara norma perilaku ideal muslim, sebagaimana yang dirumuskan dalam Homo Islamicus, dan realitas yang ada. Ekonomi Islam juga harus mampu membuat rencana aksi untuk meminimalisasi gap tersebut.
Islam memberikan pandangan hidup yang menyeluruh, dan para intelektual Muslim sudah menyinggung persoalan-persoalan ekonomi dengan menggunakan perspektif menyeluruh di masa lalu. Kita tidak bisa begitu saja menerobos batas antara ilmu politik, psikologi, dan ekonomi yang berkembang dalam konteks pengalaman sosial Eropa. Oleh sebab itu, kita perlu mengembangkan disiplin dengan cara multidisipliner yang sesuai dengan pengalaman historis kita sendiri dan sesuai dengan pandangan dunia Islam.
Ekonomi Islam tidak bisa dikembangkan dengan mengkritik pandangan ekonomi konvensional dan melakukan modifikasi atasnya. Ilmu sosial Barat sangat terkait dengan pengalaman historis Barat. Karena pengalaman historis Umat Islam sangat berbeda, maka kita tidak bisa “mencabangkan” ilmu ekonomi Islam ke dalam ilmu pengetahuan Barat. Analisis kita harus berakar dari analisis pengalaman historis kita sendiri, dan dikembangkan dalam konteks berjuang memecahkan persoalan-persoalan ekonomi. Dalam proses ini, kita tentu saja mungkin meminjam alat dan strategi yang relevan dari tradisi keilmuan Barat, tetapi kita tidak bisa menganalisis dengan menggunakan premis Barat.
* Ahmad Ubaidillah, dosen Ekonomi Syariah pada Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Lamongan (Unisla), Jawa Timur. Email: [email protected]
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Ekonomi Islam dalam Krisis, https://aceh.tribunnews.com/2016/11/18/ekonomi-islam-dalam-krisis.